Serigala Berbulu Domba
(Sketsa Banjir Darah ala Partai Komunis Indonesia)
Penulis:
Bakarudin
“Sejak
awal Kemerdekaan, PKI telah melakukan serangkaian pembantaian di banyak wilayah
RI. Mereka tidak segan membunuh untuk merebut kekuasaan. Bukti-bukti otentik
kekejaman PKI sesungguhnya sudah tidak terbantahkan. Inilah sejarah kelam
Komunisme di Indonesia”
Jakarta,
Desember 2012
Sekapur Sirih
Perjalanan sejarah
ideologi Komunis di dunia telah membuktikan selalu melakukan pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Ideologi yang dikembangak Karl Mark, Lenin, Stalin, Mao,
telah membanjiri jagat raya dengan darah. Buku Katastrofi Mendunia, Marxisma,
Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba yang ditulis Taufiq Ismail, menyebutkan
setidaknya 100 juta orang lebih dibantai termasuk di Indonesia oleh rejim
Komunis dan orang-orang Partai Komunis di Dunia. Ideologi Komunis selalu pada
intinya anti Hak Asasi Manusia, anti Demokrasi, dan anti Tuhan. Sebab itu,
menjadi ironi apabila masih banyak ”orang dan kelompok masyarakat” masih menginginkan
paham Komunis berkembang di Indonesia.
Partai Komunis
Indonesia (PKI) memang sudah dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966, namun
benarkah PKI sudah mati? Pada masa reformasi pada kenyataannya, para kader PKI
dan para simpatisannya berusaha keras memutar-balikan fakta atas segala
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah dilakukan sepanjang sejarahnya di
Indonesia. Dengan dalih ”meluruskan sejarah” mereka membanjiri toko-tokoh buku
dengan berbagai jenis buku untuk memutarbalikkan fakta sejarah. Tidak hanya
itu, para penggiat Komunisme melakukan provokasi melalui media massa cetak,
stasiun televisi, internet, film, musik, diskusi-diskusi, tuntutan hukum,
politik, dan selebaran-selebaran—yang pada intinya menempatkan orang-orang PKI
dan organisasi sayapnya seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, LEKRA, CGMNI, BTI,
SOBSI, dan lain-lain, sebagai korban. Padahal, sangat jelas sejak berdiri di
Indonesia, Partai Komunis Indonesia telah ”membokong” perjuangan Bangsa
Indonesia dalam menegakkan Kemerdekaan, Kedaulatan, Kesejahteraan, dan Keadilan
Sosial di Republik Indonesia.
Berkat perlindungan
Tuhan Yang Esa dan landasan idiil Pancasila serta UUD 1945, paham Komunis
beserta Partai Komunis Indonesia telah gagal total dalam mencengkeramkan
kekuasaannya. Tetapi, pada kenyataanya pula perjuangan orang-orang Komunis dan
kini beserta kader-kader mudanya, terus-menerus menggerogoti kedamaian Bangsa
Indonesia—mengadu-domba, memutarbalikkan fakta sejarah, melakukan instabilitas
sosial—dengan berlindung di balik perjuangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.
Padahal, paham Komunis adalah anti Hak Asasi Manusia, anti Demokrasi, dan anti
Tuhan. Mereka selalu berdusta, manipulatif dan menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan.
Tulisan ini
berjudul Serigala Berbulu Domba (Sketsa Banjir Darah ala
Partai Komunis Indonesia) ini, memang tidak menulis secara panjang lebar
mengenai sejarah dan kekejaman komunis di Indonesia. Buku ini hanya menuliskan
secara singkat adanya fakta-fakta sejarah atraksi berdarah orang-orang Komunis
beserta PKI dalam mencapai tujuan: Kekuasaan. Dengan demikian, kita Bangsa
Indonesia yang mengenal adanya Tuhan dan menjadikan Pancasila sebagai pandangan
hidup dan UUD 1945 sebagai dasar Negara, sudah selayaknya tidak menerima paham
Komunis dalam segala bentuknya dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Nah, semoga tulisan
ini bermanfaat untuk kepentingan Bangsa dan Negara yang kita cintai ini:
Republik Indonesia.
Kata-kata Mutiara
”Kalau
ada orang Komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang Islam
mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya”
(Mohammad
Hatta, mantan Perdana Menteri RI yang juga mendalami Marxisme bersama Soekarno)
***********************
”Kalau
anak muda baca Manifesto Komunis, belajar Marxisme-Leninisme, lantas tak
tertarik, maka dia anak muda yang bebal. Tapi, kalau sudah mendalami
Marxisme-Leninisme, sampai tua masih tetap komunis, maka dia sangat bebal”
(Sajuti
Melik, Suami SK Trimurti yang juga mempelajari Marxisme)
*************************************
”Saya
tak bisa menjadi anggota PKI (lagi). Saya tidak dapat menerima
keseluruhannya, khususnya pandangan falsafahnya yang didasarkan atas
paham materialisme”
(SK
Trimurti, mantan anggota PKI dan Menteri pada masa Orde Lama)
****************************************
”Persoalan
ideologi Komunis juga tidak semata-mata persoalan politik dan hukum, tetapi
juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Karena, ideologi Komunis tidak mengakui adanya Tuhan, maka ajaran Komunis
dalam segala bentuknya tidak pantas hidup di Indonesia. Siapa pun dan generasi
muda hendaknya jangan sampai terjerat oleh bujuk rayu orang-orang Komunis.”
(H.
Sukitman, polisi penemu Lubang Buaya dan saksi kebiadaban orang-orang PKI,
Gerwani, Pemuda Rakyat dalam membantai para Jenderal di Lubang Buaya)
Serigala Berbulu Domba
Peristiwa Gerakan 30
September 1965/PKI merupakan tragedi politik dan kemanusiaan di Indonesia. Dan,
perjalanan sejarah telah membuktikan, ideologi Komunis yang diusung oleh Partai
Komunis Indonesia, selalu menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Mereka tidak akan berhenti melakukan kekacauan sebelum puncak kekuasaan
direbut. Sebab itu, setiap komponen Bangsa dan generasi muda harus selalu
mengingat pergerakan Komunis tidak akan sirna dari Indonesia.
Pada saat krisis
multidimensional yang tengah melanda Indonesia, di mana kondisi perekonomian
masyarakat melorot dan pengangguran meningkat, Komunis akan berusaha keras
mencengkeramkan pengaruhnya—dengan dalih kesejahteraan dan keadilan sosial—dan
mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan anarkisme.
Seluruh saluran
komunikasi sosial, seperti media massa, seni-budaya, sastra, film, musik,
buku-buku, dialog-dialog, dan lain-lain, dimanfaatkan oleh para juru kampanye
Komunis Gaya Baru, untuk mendapat simpati seluas-luasnya. Mereka menuduh
Soeharto dan perpecahan di tubuh TNI AD yang berada di balik G. 30 S PKI.
Sungguh, kampanye tersebut merupakan pengingkaran terhadap fakta sejarah.
Pada saat ini, dengan
dalih demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) para kader PKI dan
simpatisannya tengah berusaha keras memperjuangkan hak-hak perdatanya kepada
pemerintah. Dengan tujuan utama, agar mereka ditempatkan sebagai korban bukan
sebagai pelaku kejahatan politik. Dengan cara memutarbalikkan fakta dan membuat
versi-versi baru berdasarkan rekayasa sebagai korban dan saksi sejarah. Selain
mengacaukan fakta sejarah yang sesungguhnya, cara-cara demikian dimaksudkan
untuk mendapatkan simpati publik sekaligus mengubah paradigma kesesatan
Komunisme menjadi kebenaran Komunisme. Fakta kekejaman PKI disulap menjadi
kekejaman TNI dan orang-orang Islam. Mereka secara intensif
mensosialisosialisasikan kampanye hitam tersebut melalui media massa cetak,
internet, buku-buku, dan selebaran-selebaran yang memprovokasi masyarakat.
Pada saat ini, upaya
menyembunyikan fakta sejarah, menyangkut kekejaman PKI terutama pemberontakan
Madiun 1948 dan G 30 S PKI terus dilakukan. Sebut saja, misalnya, tempat
penguburan hidup-hidup Lubang Buaya dibantah. G 30 S PKI adalah akibat konflik
internal TNA AD. Mereka juga gencar mensosialisasikan Soeharto sebagai dalang
di balik G 30 S PKI dan dalang pembantaian massal. Sungguh hal tersebut sebagai
sebuah fitnah yang keji. Karena, dalang pembantaian tersebut adalah PKI yang
memang sudah berhasil menyusupkan kader-kadernya di berbagai bidang
pemerintahan, baik di tubuh militer, instansi-instansi pemerintah dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Para kader Komunis
memang tidak segan-segan melakukan sosialisasi dengan individu dan kelompok
masyarakat yang belum dapat menggapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Mereka
seolah memperjuangkan hak-hak rakyat, buruh, tani, nelayan dan mempengaruhi
mahasiswa bahkan pelajar untuk melakukan demonstrasi. Padahal di balik
”perjuangan kemanusiaan” itu, para kader Komunis melakukan ”cuci otak” dengan
mengajarkan Komunisme. Tanpa terasa indoktrinasi ideologi Komunis ditanamkan.
Bagi mereka yang tidak menyadari, kemudian ”keblinger” dan ikut-ikut menjadi corong
berkumandangnya Komunisme di Indonesia.
Para kader Komunis
memang bagai ”serigala berbulu domba”. Mereka seolah-oleh menjadi teman,
saudara, satu nasib dan satu perjuangan, namun dibalik itu semua mereka akan
menerkam setiap orang: baik teman maupun lawan untuk satu kepentingan :
Kekuasaan dengan Ideologi Komunis.
Penyusupan Menjadi Pola Perjuangan
Komunis mulai dikenal
di Indonesia diawali dengan terbentuknya Indische Social Democratische
Vereniging (ISDV) atau Perserikatan Sosial Demokrat Hindia. Organisasi
ini didirikan pada 9 Mei 1914 di Surabaya oleh Hendrickus Josephus Franciscus
Marie Sneevliet alias Maring dan dibantu Adolf Baars. Sebagai penganut paham
Komunis, Maring paham betul bagaimana mengembangkan dengan cara melakukan
infiltrasi terhadap organisasi yang didirikan pribumi. Salah satunya infeltrasi
ke Sarekat Islam (SI).
Adalah Semaoen yang
menjadi kaki tangan ISDV dan melakukan penyusupan. Akibatnya SI kemudian
terbelah menjadi SI ”Merah” pimpinan Semaoen dan SI ”Putih” pimpinan HOS Tjokroaminoto.
Tanggal 23 Mei 1920, Semaoen mengumumkan manifesto berdirinya Perserikatan
Komunsi Hindia di kantor SI Semarang. Organisasi inilah yang menjadi
cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI pun bergabung dengan partai
Komintern (Komunis Internasional). Garis politik yang dianut berdasarkan ajaran
Lenin. Yakni : Harus menggunakan petty bourgeoisie dan
Menggunakan aspirasi nasional rakyat terjajah (Fadlizon dan H. Alwan
Aliuddin dalam Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, halaman 6)
Sebagai kepanjangan
tangan ISDV, PKI disetujui bekerja di dalam kalangan SI, yang disebut sebagai
organisasi proletar berbaju Islam. Dijelaskan pula, revolusi Asia
berdasarkan ”borjuis demokratik” dengan aksi landreform yang
mencita-citakan tanah untuk petani penggarap tanah. Artinya, tanah-tanah yang
dikuasai para ”tuan tanah” harus direbut secara paksa.
Yang menarik—dan kini
digembar-gemborkan oleh kader-kader Komunis, bahwa PKI juga pernah melakukan
perlawanan terhadap Belanda 1926-1927. Pemberontakan di Jawa (Priangan, Solo,
Banyumas, Pekalongan, Kedu, Kediri dan Banten) dan Sumatera (Padang, Silungkang
dan Padang Panjang), pada kenyataan justru menimbulkan korban pada rakyat.
Pemberontakan ini dapat dengan mudah diluluhlantakkan Belanda. Akibatnya, 9
orang digantung, 13.000 orang ditahan dan kemudian sebagian diasingkan di Tanah
Merah, Digul.
Pada tahun 1927, PKI
Sumatera Barat terlambat memberontak. PKI sendiri memprovokasi kaum tani yang
muslimin. Mereka memang menjadi korban kekejaman Belanda karena harus membayar pajak
yang terlampau tinggi. Dari pemberontakan, PKI memang melakukan tipu-muslihat
dengan mengeksploitir penderitaan para petani. Sesungguhnya PKI hanya
mengumpankan kepada Belanda. Orang-orang PKI mengatakan, apabila memberontak,
akan datang kapal terbang Angkatan Udara Turki ditugaskan oleh Kemal Ataturk
membantu pemberontakan (Brackman, seperti dikutip Taufiq Ismail dalam
Katastrofi Mendunia…., halaman xxvi).
Fakta sejarah itulah
yang menjadi catatan penting dalam kancah sejarah Indonesia sebelum Kemerdekaan
17 Agustus 1945 diproklamasikan. Ketika banyak organisasi dan para pejuang
kemerdekaan mulai mengumandangkan perang dan upaya mempersatukan perlawanan
terhadap Belanda, PKI tidak ikut serta di dalamnya. Jadi, tidak alasan dan
fakta sejarah, yang bisa menempatkan PKI sebagai organisasi dan kader-kader
pada jajaran heroisme perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Tetapi, setelah
Kemerdekaan mendapat dukungan rakyat, beberapa kader PKI dari luar negeri
kembali. Sebut saja Sardjono dari Australia dan Alimin dari Cina. Mereka
kemudian melakukan penyusupan ke Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh.
Mereka pun membangun organisasi dan mendidik kader-kadernya sebagai kader yang
memiliki militansi tinggi.
Pengkhiatan demi
pengkhiatan pun dilakukan. PKI tidak peduli dengan perjuangan Bangsa Indonesia
dalam melawan penjajahan Belanda. Kekejaman PKI terukir dengan nyata, ketika
”membokong” Kemerdekaan RI dengan melakukan pemberontakan PKI/FDR di Madiun
pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang disertai dengan pembunuhan
keji ini dipimpin Muso, yang baru kembali dari Moskow. FDR didirikan oleh Amir
Syarifuddin, yang beroposisi dari Kabinet Mohammad Hatta. Kabinet Amir
Syarifuddin jatuh setelah adanya Perjanjian Renville. Seperti diketahui Kabinet
Hatta adalah kabinet anti Komunis dan berhasil mencegah penyusupan kader-kader
PKI di tubuh militer dengan cara melakukan reorganisasi Angkatan Perang
Republik Indonesia.
Penyusupan memang
menjadi pola gerakan PKI. Setelah melakukan penyusupan dan memiliki kader yang
handal, PKI pun melakukan pemberontakan berdarah. Itulah sebabnya, mengapai ada
tokoh-tokoh PKI dari kalangan Islam, militer, guru, buruh, tani, nelayan,
mahasiswa, dan lain-lain. Para seniman, sastrawan, dan budayawan dengan alasan
kebebasan berkreasi dicekoki ajaran Komunis.
Kekuasaan Komunis
Membantai Lebih Dari 120 Juta Jiwa Manusia
Kekerasan menjadi
ciri khas dalam pelaksanaan rejim Komunis di dunia. Rejim Komunis yang anti
Tuhan menggunakan segala cara untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya. Simak
saja apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883), bila waktu tiba kita tidak akan
menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas kasihan dan kami tidak
meminta dari siapa pun rasa belas kasihan. Bila waktunya tiba, kami tidak
mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror. Cuma ada satu cara untuk
memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu, dan cara itu adalah teror
revolusioner.
Tidak kalah
ketinggalan dengan Karl Marx, Vladimir Ilich Ullyan Lenin tahun 1870-1924 yang
mengatakan, saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah-tengah
revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan
keganasan dan berjalan dalam lautan darah. Dan tidak jadi soal bila ¾ penduduk
dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu Komunis. Untuk melaksanakan Komunisme,
kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.
Copy paste ajaran
Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan Komunisme yang gemar memainkan peran sebagai
algojo, diusung secara utuh oleh kader-kader Komunis di Indonesia. Gubernur
Jawa Timur, Soerjo, yang memiliki peran penting di dalam kancah perang
Kemerdekaan di Surabaya, dibantai habis. Kekejaman PKI yang berhasil direkam
oleh Maksum, Sunyoto, Agus dan Zainuddin A dalam buku Lubang-lubang
Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, mengungkapkan, dubur warga Desa Pati
dan Wirosari ditusuk bambu runcing dan mayat mereka ditancapkan di
tengah-tengah sawah hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan
padi. Salah seorang diantaranya wanita—ditusuk kemaluannya sampai tembus ke
perut, juga ditancamkan di tengah sawah. Algojo PKI merentangkan tangga
membelintang sumur, kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika
telentang terikat itu, algojo menggergaji badannya sampai putus dua, langsung
dijatuhkan ke dalam sumur.
Lubang-lubang
pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya
adalah bukti otentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak
tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI
Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I.
Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean),
dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan
bergembiraria melihat para Jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya
di Jakarta Timur.
Lubang-lubang lain di
banyak daerah di Jawa juga sudah disiapkan oleh para kader PKI. Daftar nama
lawan-lawan politik sudah disusun untuk segera dieksekusi, karena tidak satu
paham dengan aliran politik PKI. Namun, kegagalan Pemberontakan G 30 S 1965/PKI
menyebabkan Dewan Revolusi tidak bisa menindaklanjuti aksi berdarah yang sudah
dilakukan di Jakarta.
Kini, para anggota
PKI, anggota-anggota organisasi sayapnya beramai-ramai membersihkan diri dengan
pengakuan-pengakuan palsu : seperti tertera pada buku ”Suara Perempuan
Korban Tragedi ’65” yang ditulis Ita F. Nadia dan diterbitkan Galang
Press—sebuah penerbit di Yogyakarta. Padahal, bau anyir darah begitu melekat
dalam aksi-aksi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh PKI. Para penulis asing
pun ikut hiruk-pikuk mencuci ”piring kotor” PKI dengan memanfaatkan bahan-bahan
dan pengakuan-pengakuan sepihak dari orang-orang PKI. Apakah mereka telah
terbeli oleh organisasi Komunis Internasional atau telah menjadi kaki tangan kekuatan
asing yang ingin menghancurkan kembali Republik Indonesia?
Inilah pembantaian
yang sudah ditorehkan oleh penguasa Komunis di belahan dunia lain. Setidaknya
terdapat 100 juta lebih nyawa yang dibantai. Sebuah jumlah yang melebihi jumlah
korban Perang Dunia I dan II. Banjir darah dan banjir darah menjadi ciri khas
kekuasaan Komunis di dunia.
- 500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923)
- 6.000.000 petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929)
- 40.000.000 dibantai Stalin (1925-1953)
- 50.000.000 penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tsetung (1974-1976)
- 2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979)
- 1.000.000 rakyat Eropa Timur diberbagai Negara dibantai rejim Komunis
setempat dibantu Rusia Soviet (1950-1980)
- 150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rejim Komunis di sana.
- 1.700.000 rakyat berbagai Negara di Afrika dibantai rejim Komunis.
- 1.500.000 rakyat Afganistan dibantai Najibullah (1978-1987)
(DIKUTIP DARI BUKU
KATASTROFI MENDUNIA KARYA TAUFIQ ISMAIL, TAHUN 2004)
Akankah
Komunisme dibiarkan melakukan penyusupan dalam sendi-sendi kehidupan sosial
kemasyarakatan? Ingat, Partai Komunis Indonesia dibubarkan pada tanggal 12
Maret 1966. Melalui Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 ajaran Marxisme, Leninisme,
dan Komunisme dilarang di Indonesia. Kemudian Undang-undang No 27 Tahun 1999
tentang Keamanan Negara mengukuhkan larangan bagi siapa pun untuk menyebarkan
Komunisme dalam segala bentuknya dengan sanksi pidana seberat-beratnya 12 tahun
kurungan penjara. Sesungguhnya sanksi hukum tersebut terbilang ringan. Di AS
para pemberantok tidak hanya dikurung di dalam penjara, bahkan harus diasingkan
dari kehidupan sosial kemasyarakatan.
Menurut Prof. Dr.
Moh. Noor Syam, guru besar Universitas Negeri Malang, gerakan menggantikan
ideologi Pancasila dengan ideologi Komunisme bisa digolongkan sebagai bentuk
separatisme. Sehingga, hukum harus ditegakkan kepada mereka dengan hukuman yang
setimpal. Artinya, penegak hukum, pemerintah dan Negara harus tegas
menjaga Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia.
Tragedi-tragedi Berdarah Itu…
Sudah menjadi
ideologi, paham Komunis selalu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Pembunuhan terhadap orang-orang tidak berdosa yang dilarang oleh agama apa pun
di dunia, justru menjadi pola perjuangan orang-orang Komunis di dunia termasuk
di Indonesia. Inilah bukti aksi berdarah yang dilakukan Komunis di Indonesia.
Peristiwa Tiga Daerah
Peristiwa ini
setidaknya terjadi dari tanggal 8 Oktober – 9 November 1945. Peristiwa
ini terjadi di tengah upaya Bangsa Indonesia mempertahankan Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Sejarah mencatat, kelompok Komunis bawah tanah mulai berubah
menjadi organisasi massa dan pemuda. Sebut saja Angkatan Pemuda Indonesia (API)
dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Mereka mulai melakukan aksi
penggantian pejabat pemerintah di tiga (3) kabupaten : Karisidenan Pekalongan
yang meliputi Brebes, Tegal dan Pemalang.
Pada tanggal 8
Oktober 1945, AMRI Slawi di bawah pimpinan Sakirman dan AMRI Talang dipimpin
Kutil melakukan teror dengan menangkapi dan membunuh pejabat pemerintah. Aksi
sepihak dilanjutkan pada tanggal 4 November 1945, pasukan AMRI menyerbu kota
Tegal—yakni kantor kabupaten dan Markas TKR. Aksi ini gagal. Namun, tokoh-tokoh
Komunis membentuk Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk perebutan
kekuasaan di Karisidenan Pekalongan.
Aksi Gerombolan
Ce’Mamat di Banten
Tokoh Komunis ini
bernama Ce’Mamat. Dia terpilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI).
Ce’Mamat merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet. Dibentuklah Dewan
Pemerintahan Rakyat Serang (DPRS) pada tanggal 17 Oktober 1945. Selanjutnya merebut
pemerintahan Karisidenan Banten. Dengan menggunakan kekuatan laskar-laskarnya,
teror pun dilakukan. Gerombolan Ce’Mamat berhasil menculik dan membunuh Bupati
Lebak R. Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak pada tanggal 9 Desember
1945.
Pasukan Ubel-ubel
Membunuh Oto Iskandar Dinata
Satu lagi bukti
kekejaman Komunis di Indonesia. Peristiwa ini bermula pada tanggal 18 Oktober
1945, Badan Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin Ahmad Khairun didampingi
tokoh-tokoh bawah tanah Komunis, mengambil alih kekuasaan Pemerintah Republik
Indonesia di Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Tidak hanya sampai di
situ. Dewan ini pun membentuk laskar-laskar dengan nama Ubel-ubel. Aksi
kekerasan dan teror dilakukan. Puncaknya pada tanggal 12 Desember 1945, Laskar
Hitam dibawah pimpinan Usman di daerah Mauk, membunuh tokoh nasional Oto
Iskandar Dinata.
Pemberontakan PKI di
Cirebon
PKI di bawah pimpinan
Mr. Yoesoef dan Mr. Soeprapto mengadakan konferensi Laskar Merah. Sekitar 3000
anggota Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur hadir di Cirebon pada
tanggal 12 Februari 1946. Rupanya konferensi hanyalah kedok untuk merebut
kekuasaan. Karena, pada kenyataannya Laskar Merah justru melucuti TRI,
menguasai gedung-gedung vital seperti stasiun radio dan pelabuhan. Namun, pada
tanggal 14 Februari 1946, aksi sepihak Laskar Merah tersebut berhasil
digagalkan kembali oleh TRI. Kota Cirebon pun berhasil dikuasai kembali oleh
TRI.
Revolusi Sosial di
Langkat
Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945 ternyata tidak sepenuhnya bisa diterima oleh sejumlah
kerajaan di Sumatera Timur. Kondisi tersebut dimanfaat oleh PKI untuk melakukan
aksi sepihak. Inilah yang menimpa Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung
Pura. Pada tanggal 3 Maret 1946 terjadi Revolusi Sosial yang dilakukan PKI di
Langkat. Secara paksa PKI merebut kekuasaan para pemerintahan kerajaan bahkan
membunuh raja-raja dan keluarganya. Tidak hanya membunuh, PKI pun merampas
harta benda milik kerajaan. Pada tanggal 9 Maret 1946, PKI dibawah pimpinan
Usman Parinduri dan Marwan menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di
Tanjung Pura.
Pemogokan Buruh
SARBUPRI di Delanggu, Klaten
Menggerogoti wibawa
pemerintah yang sah adalah sebuah sistem pergerakan yang selalu dilakukan PKI.
Sekitar 1.500 pekerja pabrik karung goni dari tujuh perusahaan perkebunan
miliki Pemerintah di Delanggu, Klaten melakukan pemogokan pada tanggal 23 Juni
1948. Mereka yang tergabung di dalam Serikat Buruh Perkebunan Republik
Indonesia (SARBUPRI)—organisasi buruh PKI—menuntut kenaikan upah. Tuntutan yang
sangat tidak masuk akal, mengingat Republik Indonesia baru saja berdiri.
Sementara Belanda masih terus-menerus merongrong Kemerdekaan RI dengan kekuatan
senjata maupun diplomasi Internasionalnya. Aksi ini akhirnya berakhir pada
tanggal 18 Juli 1948 setelah partai-partai politik mengeluarkan pernyataan
menyetujui Progam Nasional.
Kekacauan Surakarta
Tampaknya sejak awal
Kemerdekaan, PKI memang hendak merebut kekuasaan terhadap pemerintahan yang
sah. Berbagai aksi adu-domba dilakukan PKI di wilayah Surakarta, Jawa Tengah.
Pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-3, yang diwarnai dengan
pasar malam di Sriwedari, tiba-tiba PKI membakar ruang pameran jawatan
pertambangan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 1948 tersebut
kemudian terbongkar, sebagai kamuflase/kedok dari recana makar yang dilakukan
PKI dalam pemberontakan Madiun tanggal 18 September 1948. Aksi pembakaran di
Sriwedari tersebut sebagai “pemanasan” untuk pembantaian di Madiun.
Pemberontakan PKI di
Madiun
Inilah pengkhiatan
PKI terhadap kedaulatan RI pada masa pasca Kemerdekaan RI. Pemberontakan yang
terjadi pada tanggal 18 September 1948 sampai saat ini berusaha ditutupi oleh
orang-orang PKI. Padahal, fakta sejarah sudah membuktikan—di tengah upaya
Republik Indonesia mempertahankan Kemerdekaan—PKI justru “membokong” dan
mengkhianati perjuangan yang telah dilakukan. Dengan dalih kecewa atas
perjanjian Renville, Amir Syarifuddin yang tersingkir posisi dari pemerintahan
Presiden Soekarno kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Seperti
diketahui, Kabinet Amir Syarifuddin kemudian digantikan oleh Kabinet Hatta yang
memang antikomunis. FDR ini beranggotakan Partai Sosialis, PESINDO, Partai
Buruh, PKI dan SOBSI.
Di Madiun PKI
membantai ulama dan kyai yang antikomunis. Tujuan tujuan memproklamasikan
Soviet Republik Indonesia, Madiun sempat jatuh di tangan PKI.
Dipimpin Kolonel
Djokosujono dan Sumarsono tanggal 18 September 1948, PKI memproklamirkan Soviet
Republik Indonesia. Sehari kemudian atau tanggal 19 September 1948, Muso
membentuk pemerintahan baru, Pemerintah Front Nasional. Muso sejak
kedatangannya dari Moskow memang berhasil mempengaruhi anggota-anggota TNI
untuk bergabung. Disamping itu, Muso dengan liciknya mengadu-domba antar
kesatuan di TNI.
Atas pemberontakan tersebut
kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pada tanggal 19 September 1948
dengan menyatakan : “Kemarin pagi PKI Muso mengadakan coup, mengadakan
perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan di sana satu Pemerintahan
Soviet, di bawah pimpinan Muso. Bagimu pilih diantara dua. Iku Muso dengan
PKInya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut
Soekarno-Hatta, yang Isya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara
Republik Indonesia kita, Indonesia yang merdeka, tidak dijajah Negara mana pun
jua.” Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyerukan : “Secepat mungkin
menghancurkan kaum pemberontak.” Selain itu, Menteri Agama KH Masjkur yang juga
tokoh Partai Masyumi menyatakan :”Perebutan kekuasaan oleh Muso di Madiun
adalah bertentangan dengan agama dan adalah perbuatan yang hanya mungkin
dijalankan oleh musuh Republik.”
Pemberontakan PKI
Madiun ini berhasil dipadamkan. Madiun pun direbut kembali. Muso berhasil
ditembak mati pada tanggal 30 Oktober 1948 jam 11.00 di Semanding Timur
Ponorogo. Kemudian Djokosujono, Maruto Darusman, Sajogo dan gerombolannya
ditangkap. Amir Sjarifuddin dan Suripno berhasil ditangkap dan dihukum mati.
Wajar apabila
akhirnya gembong-gembong PKI dihukum mati. Selain melawan pada saat diminta menyerah,
mereka pun telah melakukan kekejaman terhadap masyarakat. Sebagai contoh di
Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan, KH Soelaiman Zuhdi Affandi
digelandang PKI secara keji. Sebelumnya di Pabrik Gula Gorang Gareng puluhan
orang tawanan PKI dibunuh secara keji. Selanjutnya, bersama ratusan tawanan
lain dibantai. Bahkan, KH Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur hidup-hidup di sumur
pembantaian Desa Soco pada saat mengambil air wudlu. Pada sumur tersebut
ditemukan 108 kerangka jenazah. Kini korban keganasan PKI tersebut dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kota Madiun. Begitulah kalau PKI ingin berkuasa. Karena
tidak mengenal Tuhan, maka pembantaian, mengubur manusia hidup-hidup dianggap
sebagai cara yang halal.
Tapi, dengan segala
kelicikannya, kemudian PKI mengatakan Pemberontakan Madiun karena diprovokasi
Hatta. Sungguh ini pemutar-balikkan fakta terhadap tragedi berdarah yang sudah
dilakukan. Persoalan kemudian Presiden Soekarno mengampuni tindakan makar dan
tindakan separatis yang dilakukan PKI. Sehingga pada Pemilu pertama tahun 1955,
PKI berhasil muncul sebagai kekuatan politik nomor 4 bersama PNI, Masyumi, dan
Nahdlatul Ulama (NU).
Aksi Berdarah di
Blora
Pasukan PKI menyerang
Markas Kepolisian Distrik Ngawen, Kabupaten Blora pada 18 September 1948.
Setidaknya 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada tujuh polisi yang masih
muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari Komandan
Pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 September 1948. Sementara
tujuh polisi muda dieksekusi dengan cara keji. Ditelanjangi kemudian leher
mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah, tujuh polisi dibuang
ke dalam kakus/jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian ditembak
mati.
Membantai di Dungus
Setelah Madiun
direbut kembali oleh TNI, kemudian PKI pada tanggal 30 September 1948 melarikan
diri ke Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Dungus. Sebenarnya wilayah
tersebut memang dipersiapkan sebagai basis pertahanan PKI. Dalam kondisi
terdesak PKI akhirnya membantai hampir semua tawanannya dengan cara keji. Para
korban ditemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Diantara para korban
ada anggota TNI, polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan ulama.
Rangkaian pembunuhan oleh PKI masih dilanjutkan.
Pembantaian Massal di
Tirtomoyo
Ini tragedi berdarah
di Wonogiri, Jawa Tengah. Aksi yang dilakukan adalah dengan menculik
lawan-lawan politiknya. Pejabat pemerintahan, TNI, polisi, dan wedana menjadi
santapan empuk PKI. Di sebuah ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di
Tirtomoyo, PKI menyekap sedikitnya 212 orang—terdiri dari para pejabat dan
masyarakat yang melawan partai berideologi Komunis tersebut. Aksi pembantaian
dilakukan sejak tanggal 4 Oktober 1948. Satu-persatu dan juga bersama-sama, akhirnya
212 tawanan dibantai dengan keji.
Aksi PKI di Tanjung
Priok
Pasca pemberontakan
PKI Madiun dipadamkan, tidak serta merta kehidupan PKI berakhir di Indonesia.
PKI masih tetap tumbuh dan menyelusup di seluruh pelosok Negeri. Wajar
pemerintah tidak bisa membasmi habis PKI sampai ke akar-akarnya. Ini sebabkan,
pemerintah RI dan TNI juga sedang berhadapan langsung dengan Kolonial Belanda
yang tetap ingin menguasai Republik Indonesia.
Terbukti aksi
kekerasan masih terus dilakukan. Pada tanggal 6 Agustus 1951 malam, Gerobolan
Eteh (PKI) dengan kekuatan puluhan orang menggunakan senjata tajam dan senjata
api melakukan aksi di Tanung Priok. Mereka menyerang Asrama Mobile Brigade
Polisi dengan tujuan merebut senjata. Awal mulanya, seorang anggota Gerombolan
Eteh seolah-olah ingin menjenguk rekannya di Markas. Namun, secara tiba-tiba
anggota yang lain menyerang pos jaga asrama. Dalam aksi tersebut Gerombolan
Eteh berhasil merampas 1 senjata bren, 7 karaben, dan 2 pistol.
Aksi Barisan Tani
Indonesia (BTI) di Tanjung Morawa
Tindakan brutal
dilakukan BTI dengan memprovokasi para petani di perkebunan tembakau di desa
Perdamaian, Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953. BTI adalah salah satu
underbouw PKI yang memang menggarap petani sebagai pendudukung kekuatan massanya.
Pada saat itu, Pemerintahan RI Karisedenan Sumatera Timur merencanakan membuat
sawah percontohan, namun ditentang oleh para penggarap liar. Dengan dikawal
pasukan polisi, lahan perkebunan tersebut terpaksa dibuldozer. Menentang
rencana tersebut BTI mengerahkan massa untuk melakukan perlawanan kepada polisi
dan aparat pemerintah.
DN Aidit
Membangkitkan Kembali PKI
Di bawah tokoh-tokoh
muda seperti DN Aidir, sejak tahun 1950 PKI melakukan konsolidasi kekuatan. PKI
pun berhasil menyatukan kembali kekuatannya yang telah berserakan setelah
Pemberontakan Madiun. Aksi yang terus dilakukan adalah menyebarkan pengaruhnya
di berbagai kalangan dan institusi. Untuk menyusun kekuasaan politik, PKI
menyusun metode perjuangan yang disebut dengan Metode
Kombinasi Tiga Bentuk
Perjuangan (MKTBP)
Metode ini merupakan
rumusan yang dilakukan pada Kongres Nasional V PKI pada tanggal 14 Maret 1954.
Metode tersebut meliputi : Perjuangan Gerilya di Desa, Bekerja Intensif di
Kalangan ABRI. Metode ini dilakukan secara tertutup. Sedangkan untuk menyusup
ke ABRI dilakukan oleh Biro Khusus PKI.
Kisah tentang DN
Aidit pun berlanjut. Sekretaris Jenderal Polit Biro CC PKI mengeluarkan
Statemen Polit Biro CC PKI, yang intinya meminta agar Pemberontakan Madiun di
peringati secara intern pada tanggal 13 September 1953. Dalam pernyataannya,
secara licik PKI membantah Pemberontakan Madiun bukan dilakukan oleh PKI,
tetapi akibat provokasi Pemerintah Hatta. Tindakan tegas pemerintah dilakukan
kepada DN Aidit dengan mengadilinya pada 25 November 1954. Kemudian vonis
dijatuhkan pada tanggal 25 Februari 1955 dan DN Aidit dinyatakan bersalah.
LEKRA Memberangus
Lawan Seni dan Budayanya
PKI tidak hanya
memfokuskan diri pada bidang politik untuk membangun kekuatannya. Para
sastrawan, seniman dan budayawan juga direkrut. Lembaga Kebudayaan Rakyat
(LEKRA) memasukkan komunisme ke dalam seni dan sastra. Mempolitikkan budayawan
dan mendiskreditkan lawan. Pada tanggal 22 sampai 25 Maret 1963, LEKRA
menyelenggarakan Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia di Medan.
Konferensi tidak hanya membahas masuknya Komunisme di bidang sastra, juga
menuntut dibentuknya Kabinet Gotong Royong yang memungkinkan masuknya
tokoh-tokoh PKI di dalamnya.
Salah satu petinggi
Lekra adalah Pramudya Ananta Toer. Pram juga dikenal sebagai Pemimpin Redaksi
Lembar Kebudayaan Lentera dari koran Bintang Timur. Koran inilah yang menuding
Hamka sebagai plagiator dengan berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
Tekanan politik terhadap karya-karya non Komunis dilakukan oleh Lekra.
Menghadapi gerakan Lekra para sastrawan seperti HB Jassin, Taufiq Ismail,
Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasoit, Goenawan Mohammad, Bur
Rasuanto, A Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Ras Siregar, D.S.
Moeljanto, Sjahwil, dam Djufri Tanissan merumuskan Manifes Kebudayaan untuk
melawan Manifes Politik yang dikeluarkan Lekra. Tetapi, dengan kekuatan politik
di tangan Presiden Soekarno pada saat itu (8 Mei 1964), Manifes Kebudayaan
akhirnya dilarang melakukan aktivitas.
Hujatan-hujatan
terhadap sastrawan Manifes Kebudayaan terus dilakukan. Penyair Chairil Anwar
(pelopor Angkatan 45) juga digugat. Seperti dikatakan Sitor Situmorang, Chairil
Anwar dinilai sudah tidak punya arti apa-apa. Chairil disebut sadar tidak sadar
telah masuk ke dalam jaringan kontra revolusioner. Bahkan buku-buku karya
sastra karya sastrawan di Manifes Kebudayaan dibakar oleh Lekra.
Serangan terhadap
Pelajar Islam Indonesia di Kanigoro
PKI melalui Pemuda
Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) memang sungguh-sungguh tidak
beradap. Training Pelajar Islam Indonesia di kecamatan Kras, Kediri tanggal 13
Januari 1965 diserang oleh PR dan BTN. Massa Komunis ini tidak hanya menyiksa,
melakukan pelecehan seksual terhadap para pelajar Islam perempuan. Tidak hanya
sampai di situ, massa PKI pun menginjak-injak Al-Quran. PKI memang tidak
mengenal Tuhan. Mereka pun memiliki pertunjukan Ludruk dengan lakon ”Matinya
Gusti Allah”.
Tragedi Bandar Betsi,
Pematang Siantar
Sejarah ini
menunjukkan PKI memang brutal. Mereka pada tanggal 14 Mei 1965 melakukan aksi
sepihak yakni dengan menguasai secara tidak sah tanah-tanah miliki Negara.
Pemuda Rakyat, BTI, dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) melakukan penanaman
secara liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX
Bandar Betsi. Sekitar 200 massa ikut serta dalam aksi tersebut. Pelda Sudjono
yang sedang ditugaskan di perkebunan secara kebetulan menyaksikan perilaku
anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan.
Anggota PKI bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono.
Akibatnya Sudjono tewas dengan kondisi yang amat menyedihkan.
Kini salah seorang
putra pembunuh Sudjono bernama Muchtar Pakpahan aktif di organisasi buruh SBSI
dan kemudian mendirikan Partai Buruh dan mengikuti Pemilu 2009.
Pemberontakan PKI 30 September
1965
Sejarah berdarah
kembali ditorehkan oleh PKI di Indonesia. Dengan menamakan diri Gerakan 30
September 1965, mereka menghabisi tujuh orang Letjen TNI A. Yani,
Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen
TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre
Andries Tendean. Jenderal A.H. Nasution yang sudah masuk dalam daftar
pembantaian ternyata bisa meloloskan diri. Hanya Ade Irma Nasution menjadi
korban aksi keji pasukan PKI. Menjadi fakta sejarah, para korban keganasan PKI
tersebut dilemparkan ke dalam sumur di Lubang Buaya. Sementara Mayjen Soeharto
sebagai Pangkstrad tidak diperhitungkan oleh PKI, sehingga tidak ikut dihabisi.
Instruksi Letkol
Untung (Komandan Gerakan 30 September 1965/PKI), pembantaian yang diawali
dengan penculikan dilakukan oleh tiga kelompok pasukan yang diberi nama Pasukan
Pasopati (dipimpin Lettu Dul Arief), Pringgondani (dipimpin Mayor Udara Sujono)
dan Bima Sakti (dipimpin Kapten Suradi).
ABRI/TNI memang
menjadi sasaran utama penyusupan PKI. Melalui Biro Khusus Central, PKI
mempengaruhi anggota TNI agar berpihak kepada mereka. Biro Khusus ini di bawah
kendali langsung DN Aidit. Oleh PKI, para anggota ABRI yang berhasil dijaring
disebut sebagai “perwira-perwira yang berpikiran maju.” Mereka yang tercatat
sebagai pendukung PKI antara lain : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro, Brigjen
TNI Soepardjo, Kolonel Inf. A Latief, Letnan Kolonel Untung, Mayor KKO Pramuko
Sudarmo, Letkol Laut Ranu Sunardi, Komodor Laut Soenardi, Letkol Udara Heru
Atmodjo, Mayor Udara Sujono, Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani, Brigjen Pol.
Soetarto, Komisaris Besar Polisi Imam Supoyo, Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas
Tanuamidjaja, dan lain-lain
Pembantaian terhadap
petinggi militer yang oleh PKI dimaksudkan untuk merebut kekuasaan dari
Presiden Soekarno yang dikabarkan tengah menderita sakit. Namun, gerakan ini
mengalami kegagalan total, karena tidak mendapat dukungan dari rakyat. Dalam
buku Soekarno File (karya Antonie Dake) dan Kudeta 1
Oktober 1965 Sebuah Studi tentang Konspirasi (karya Victor M Fic)
menyebutkan adanya dorongan dari Mao Tse Tung (Ketua Partai Komunis Cina) yang
bertemu dengan DN Aidit tanggal 5 Agustus 1965, agar dilakukan pembunuhan
terhadap Pimpinan TNI AD, karena Mao khawatir apabila Presiden Soekarno
meninggal, maka kekuasaan akan beralih kepada TNI Angkatan Darat yang kontra
terhadap PKI. Bahkan, kedua buku tersebut menyebutkan keterlibatan Presiden
Soekarno dalam pemberontakan G 30 S PKI.
Sebelum G 30 S 65/PKI
meletus, aksi teror dan kekerasan sudah mewarnai politik di Indonesia. PKI
secara langsung dan organisasi-organisasi pendukungnya merasa di atas angin,
sehingga mengebiri hak-hak hidup organisasi massa lain. PKI bahkan mengusulkan
kepada Presiden Soekarno agar HMI dibubarkan. PKI juga mengusulkan dibentuknya
angkatan ke-5—yakni mempersenjatai Barisan Tani Nelayan dan Pemuda Rakyat dalam
rangka konfrontasi dengan Malaysia.
Situasi politik
memang semakin memanas. Di depan apel kesiagaan Dwikora pada tanggal 2 April
1965, DN Aidit mengatakan, “Manipol harus dibela dengan senjata,
Manipol tidak bisa dibela hanya dengan tangan kosong. Oleh sebab itu, latihan
militer penting bagi orang-orang revolusioner manipolis dengan tujuan membela
Manipol dengan senjata.”
Pada saat HUT PKI-45
tanggal 23 Mei 1965 di Stadion Utama Senayan, DN Aidit menyerukan massa PKI
meningkatkan ofensif revolusioner sampai ke puncak. Seruan ini dirangkai pula
dengan seruan pada tanggal 9 September 1965, “kita berjuang untuk sesuatu
yang akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi
masyarakat baru itu. Sang bayi lahir, dan kita kaum revolusioner menjaga supaya
lahirnya baik dan sang bayi cepat besar.” Seruan-seruan DN Aidit tentu
saja menjadi pemompa bagi kader-kader PKI di banyak daerah untuk melakukan aksi
sepihak.
Struktur Pimpinan
PKI, September 1965
Ketua Comite Central : DN Aidit
Dewan Harian
Politbiro (Lima Anggota) :
DN Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea
Politbiro :
Dua belas anggota
penuh: DN Aidit, Lukman,
Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea, Sakirman, Njono, Mohammad Munir, Ruslan
Wijayasastra, Jusuf Ajitorop, Asmu, Rewang,
Empat calon anggota : Peris Pardede, A. Sanusi,
Sucipto Munandar, F. Runturambi
Panitera : Iskandar Subekti
Comite Central : 85 anggota
(Dikutip dari buku
Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto halaman 209
karya John Roosa)
Sejarah G 30 S
1965/PKI sebenarnya sangat terang bagi Indonesia. Tetapi, setelah pada masa
Reformasi terhitung sejak tahun 1998, anggota-anggota PKI yang sudah menghirup
udara bebas setelah menjalani hukuman penjara, melakukan ofensif
memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka juga melakukan pengkaderan dan
menyusupkan kader-kadernya di banyak sektor pemerintahan. Selain itu, dibentuk
pula organisasi-organisasi massa yang memperjuangkan dan menuntut hak-hak
politik dan perdatanya.
Melalui buku-buku,
film, tulisan-tulisan lepas di internet dan media massa cetak, pemutarbalikkan
fakta sejarah dengan menempatkan diri sebagai ”korban” dilakukan. Tidak cuma
itu, tuntutan melalui ranah hukum dan politik dilakukan. Namun, langkah-langkah
tersebut selalu menemu kegagalan. Tetapi, mereka tidak pernah berhenti
menyebarkan virus Komunisme untuk mempengaruhi Bangsa Indonesia.
PKI memang telah
dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966. Tap MPRS XXV/1966 telah menjadi
ketetapan hukum untuk melarang ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme di
Indonesia. Pada masa Reformasi telah disahkan pula Undang Undang No 27/1999
tentang Keamanan Negara yang memberikan sanksi pidana sampai hukuman 12 tahun
penjara bagi orang dan organisasi massa yang berniat menggantikan ideologi
Pancasila melalui segala macam bentuk kegiatannya.
Namun demikian
disinyalir masih banyak yang berusaha menghidupkan idiologi terlarang itu dan oleh
karenanya harus diwaspadai.
PENUTUP
Rangkaian perjalanan
sejarah PKI sejak sebelum Kemerdekaan, setelah Kemerdekaan dan Reformasi tetap
konsisten mengusung ideologi kekerasan. Ajaran dedengkot Komunis Internasional
memang sudah dicangkokkan sebagai inspirasi para kader Komunis untuk merebut
kekuasaan di mana pun mereka bisa tumbuh. Indonesia yang dikenal memiliki
nilai-nilai keagamaan yang kukuh tentu saja tidak bisa menerima kehadiran paham
Komunis dalam segala bentuknya. Itulah mengapa, Pancasila kemudian menjadi
pilihan Negara dan Bangsa Indonesia, sebagai sebuah paham yang menjadi
inspirasi dalam pembangunan Nasional—baik pembangunan spiritual maupun
material.
Patut disayangkan
memang, anak-anak Bangsa yang seharusnya bisa ikut berperan aktif dalam
membangun karakter Bangsa, justru keblinger terhadap ajaran Marxisme,
Leninisme, Maoisme, dengan menggunakan topeng kepalsuan, mengatakan
memperjuangkan nasib rakyat. Padahal, sejarah Komunisme di dunia telah mencatat
lebih dari 100.000.000 nyawa manusia hilang sia-sia, hanya demi perbedaan paham
dan untuk mempertahankan kekuasaan.
Demokrasi dan Hak
Asasi Manusia tidak mengenal adanya pembantaian terhadap nyawa manusia. Namun,
untuk menyokong agar ideologinya bisa diterima masyarakat, para kader Komunis
di mana pun bersedia melepas baju kekejamannya dan tampil sebagai seorang
humanis sejati. Artinya, sebelum cita-cita merebut kekuasaan berhasil, Partai
Komunis akan menggunakan atribut apa pun untuk melakukan penyamaran.
Dan, kini para kader
Komunis sedang gencar-gencarnya mengubah sejarah kekejaman mereka menjadi
sejarah penindasan terhadap diri mereka. Inilah upaya yang dilakukan untuk
menarik simpati dengan menampilkan wajah humanisme. Padahal, telah menjadi
fakta sejarah, PKI adalah pelaku kejahatan terhadap Bangsa Indonesia dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sungguh-sungguh licik. Padahal, tokoh-tokoh elit
PKI sendiri sudah mengakui, kalau PKI-lah yang berada di balik Gerakan 30
September 1965 sehingga menyebabkan pertumpahan darah anak-anak bangsa. Upaya
menghapus jejak kekejaman PKI antara lain dilakukan dengan menghapuskan
Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan menghilangkan kata PKI dari Gerakan
30 September 1965 di dalam buku pelajaran IPS/Sejarah Kurikulum 2004
dari tingkat SD sampai dengan SMA. Tetapi, cara licik kader Komunis
terbongkar dan akhirnya Kejaksaan Agung pada bulan Mei 2007 melarang buku-buku
tanpa menyebut PKI digunakan di sekolah dan harus dimusnahkan.
Mohammad Hatta sudah
mengingatkan ”kalau ada orang Komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan,
atau seorang Islam mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.”
Nah!!!!
Bahan Bacaan
Dipodisastro,
Soemarno, 2007, Kesaksian Sukitman Penemu Lubang Buaya, Jakarta :
Yayasan Sukitman
Hartisekar, Markonina
dan Akrin Abadi. 2001, Mewaspadai Kuda Troyo Komunisme di Era
Reformasi, Jakarta : Pustaka Sarana Kajian
Ismail, Taufiq,
2004, Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba,
Jakarta : Yayasan Titik Infinitum
Moeljanto DS dan
Taufiq Ismail, 1994, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk,
Jakarta : Mizan dan Harian Umum Republika
Mansur Abubakar,
2008, Bunga Rampai Ex PKI, Komunis Gaya Baru-Ex PRD-PAPERNAS Memutar
Balikkan Fakta Sejarah, Kediri : Gerakan Nasional Patriot
Panduan Monumen
Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Jakarta, Pusat Sejarah TNI
Roosa, John,
2008, Dalih Pembunuhan Massal, Jakarta : Hasta Mitra
Zon, Fadli dan M Halwan Aliuddin, 2005, Kesaksian
Korban Kekejaman PKI 1948, Jakarta : Komite Waspada Komunisme
No comments:
Post a Comment